Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955 merupakan peristiwa bersejarah yang mengubah dinamika politik internasional pasca-Perang Dunia II. Konferensi ini dihadiri oleh 29 negara dari Asia dan Afrika, yang sebagian besar baru merdeka dari penjajahan, dengan tujuan membangun solidaritas dan kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama seperti kolonialisme, imperialisme, dan ketegangan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Latar belakang KTT Asia Afrika 1955 tidak dapat dipisahkan dari gelombang dekolonisasi yang melanda Asia dan Afrika setelah Perang Dunia II. Negara-negara seperti Indonesia, India, Pakistan, Burma (Myanmar), dan Sri Lanka yang telah merdeka merasa perlu bersatu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan negara-negara lain yang masih dijajah. Selain itu, kekhawatiran akan keterlibatan dalam konflik Perang Dingin mendorong para pemimpin seperti Presiden Soekarno (Indonesia), Perdana Menteri Jawaharlal Nehru (India), Presiden Gamal Abdel Nasser (Mesir), dan Perdana Menteri Zhou Enlai (Tiongkok) untuk mencari jalan ketiga yang independen.
Di Indonesia sendiri, konteks domestik turut mempengaruhi penyelenggaraan KAA. Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti Agresi Militer Belanda, pemberontakan daerah, dan konflik ideologi. Peristiwa seperti Pertempuran Medan Area (1945-1946) yang memperlihatkan perlawanan sengit rakyat terhadap Sekutu dan Belanda, serta Bandung Lautan Api (24 Maret 1946) di mana penduduk membakar kota Bandung untuk menghalangi tentara Sekutu dan NICA, menunjukkan semangat nasionalisme yang tinggi. Namun, sentimen kedaerahan dan ideologi tertentu, seperti yang muncul dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (1948) dan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah Kartosuwiryo (1949-1962), menciptakan kerawanan internal.
Revolusi medis dalam bidang kesehatan pasca-kemerdekaan, meski kurang terdokumentasi dalam konteks KAA, turut menjadi bagian dari upaya nation-building Indonesia. Sementara itu, upaya pemisahan diri seperti yang dilakukan oleh Republik Maluku Selatan (RMS) pada 1950 mengingatkan akan kompleksitas integrasi nasional. Dalam situasi ini, KAA menjadi momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan di kancah internasional dan memperkuat legitimasi pemerintahannya.
Hasil utama KTT Asia Afrika 1955 adalah tercapainya "Dasa Sila Bandung" atau sepuluh prinsip yang menjadi landasan hubungan internasional. Prinsip-prinsip ini menekankan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial, persamaan semua ras dan bangsa, non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain, penyelesaian sengketa secara damai, serta promosi kepentingan bersama dan kerja sama. Deklarasi ini menjadi dasar moral bagi perjuangan melawan kolonialisme dan apartheid, serta inspirasi bagi gerakan kemerdekaan di Afrika seperti di Aljazair, Kenya, dan Kongo.
Warisan terbesar KAA adalah lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1961, yang secara resmi mengadopsi prinsip-prinsip Bandung. GNB menjadi wadah bagi negara-negara berkembang untuk menjaga netralitas dalam Perang Dingin dan memperjuangkan kepentingan ekonomi-politik mereka di forum internasional seperti PBB. Meski menghadapi tantangan seperti perpecahan internal dan tekanan dari negara adidaya, GNB tetap relevan hingga kini dalam mendorong kerja sama Selatan-Selatan dan reformasi tata kelola global.
Dalam konteks kontemporer, warisan KAA terlihat dalam upaya mengatasi ketimpangan global, perubahan iklim, dan neokolonialisme ekonomi. Prinsip solidaritas Global Selatan yang digaungkan di Bandung kini diwujudkan melalui inisiatif seperti Forum Kerja Sama China-Afrika dan kelompok G77. Namun, tantangan baru seperti disinformasi dan konflik regional menguji konsistensi penerapan prinsip-prinsip Bandung.
Undang-undang baru di berbagai negara, termasuk Indonesia, sering kali mengacu pada semangat KAA dalam kebijakan luar negeri yang mandiri dan aktif. Misalnya, UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Indonesia menegaskan komitmen terhadap perdamaian dunia dan kerja sama internasional, yang selaras dengan Dasa Sila Bandung. Selain itu, platform digital turut memainkan peran dalam mempromosikan warisan sejarah ini kepada generasi muda.
KTT Asia Afrika 1955 bukan sekadar peristiwa historis, melainkan fondasi bagi tatanan dunia yang lebih adil dan setara. Solidaritas yang dibangun di Bandung mengajarkan bahwa negara-negara kecil dan berkembang dapat bersatu untuk mengubah sejarah, sebuah pelajaran yang tetap relevan di era multipolar saat ini. Melalui edukasi dan diplomasi, warisan Bandung terus menginspirasi perjuangan melawan ketidakadilan global.
Dengan demikian, KAA 1955 meninggalkan warisan abadi berupa prinsip-prinsip yang menekankan penghormatan, kerja sama, dan perdamaian. Konferensi ini tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi, tetapi juga membentuk identitas kolektif Global Selatan yang berdiri di luar blok kekuatan besar. Dalam menghadapi tantangan abad ke-21, semangat Bandung mengingatkan kita akan kekuatan solidaritas dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi semua bangsa.